Kupang, Jipeknews
Penolakan umat Katolik Paroki St. Ggregorius Agung Oeleta terhadap upaya penetapan ulang batas tanah yang terletak di Kelurahan Penkase Oeleta mendapat reaksi dari praktisi hukum dan ahli hukum. Kuat dugaan adanya manipulasi dalam penerbitan sertifikat oleh instansi yang berwenang.
Praktisi hukum Ali Antonius, SH, M.Hum, yang ditemui dikediamannya, Kamis, 13 Juni 2024 menjelaskan untuk mengetahui asli atau tidaknya sertifikat maka harus meminta warkah atau buku tanah di BPN. Warkah berisikan tentang surat alas hak, cara memperoleh hak, penguasaan fisik tanah. “Warkah itu dokumen asli dan dapat mengetahui status produk hukum yang dikeluarkan BPN berupa sertifikat, apakah asli atau bodong,” tandas Ali.
Advokat senior ini membandingkan sertifikat yang dimiliki Toto (HGB 1366) dan sertifikat milik Gereja Katolik (HGB nomor 239) . Dia menjelaskan bahwa ketika ada perbaikan dalam isi sertifikat harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Prosedur perbaikan harus melalui berita acara dengan alasan-alasan yang sah. Ada 3 aspek yang harus dipenuhi yakni soal kewenangan, prosedur dan substansi. “Saya menduga perbaikan yang temui dalam sertfiikat milik Toto (HBG 1366) diduga tidak prosedural yang tampak melalui coretan-coretan yang ditemukan,” tandas tokoh Katolik yang berdomisili di TDM ini.
Ketika ditanya soal surat keterangan dari Kelurahan Penkase Oeleta tentang perubahan letak tanah karena pemekaran wilayah kelurahan dia mengatakan tidak berpengaruh pada perubahan yang lain-lainnya. Prosedur hukum yang harus dilakukan oleh kelurahan adalah melakukan pengecekan lokasi tanah yang diajukan oleh pemohon. “Harusnya pihak kelurahan mengecek sesuai dengan lokasi yang ada dalam sertifikat tersebut sehingga tidak dikibuli oleh pemohon,” imbuh Ali.
Ditempat terpisah ahli hukum, Dr. Saryono Yohanes, SH, MH mengatakan yang menerbitkan sertifikat kewenangan pada Badan Pertanahan Nasional (BPN) . Jika terjadi adanya sertifikat ganda di atas lahan yang sama dapat diduga bahwa terjadi manipulasi. Jika di atas lahan yang sama terdapat serttifikat HGB yang sama maka harus megajukan keberatan ke BPN agar BPN dapat memediasi. Jika mediasinya pada tingkat BPN Kota Kupang tidak memasukan bisa ajukan banding ke Kantor wilayah BPN. Upaya hukum lainnya jika tidak meneukan hasil yang memuaskan adalah mengajukan permasalahan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN ).
Lebih lanjut Wakil Dekan II Fakultas Hukum Undana ini menjelaskan langkah hukum dapat dilakukan secara perdata dan pidana. Secara pidana dapat melaporkan pihak yang melakukan atau menguasai lahan milik orang lain. “Jika hanya mengantongi sertifikat hak guna bangunan walaupun bodong dan menguasai fisik tanah maka dapat dilaporkan secara pidana sebagai tindakan pencaplokan lahan,” ujar Saryono.
Dijelaskannya pula bahwa tanah yang bsertatus Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) tidak bisa dijual atau diberikan sebagai warisan kepada orang lain . Orang yang menjual tanah dengan status sertifkat HGB kepada orang lain adalah tindakan yang tidak waras. “Orang gila yang menjual tanah berstatus sertfikat HGB adalah perbuatan orang gila,” ujar Saryono sambil menambahkan Undang-undang pokok Agraria (UUPA ) Nomor 5 tahun 1960 mengisyaratkan HGB hanya berlaku selama 30 tahun dan setelah dilakukan perpanjangan dapat mengurus mengalihkan status menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM)
Senada dengan Ali Antonius, Saryono menyarankan agar kepemilikan lahan paroki Oeleta tidak diganggu gugat oleh pihak lain maka harus dilakukan pemagaran keliling. Pemagaran keliling yang sering disebut besiter dapat juga menggugah pihak lain yang merasa memiliki sertifikat di atas lahan yang sama untuk melakukan upaya hukum. “harus dipagar keliliing supaya tidak diganggu oleh orang lain,”ujar Saryono.
Sebagaimana diberitakan Umat Paroki Santu Gregorius Agung Oeleta menolak upaya Badan Pertanahan Kota Kupang untuk melakukan penetapan ulang batas tanah yang terletak di Kelurahan Penkase Oeleta . Penolakan itu disinyalir karena adanya dugaan pencaplokan tanah milik Paroki Santu Gregorius Agung Oeleta oleh Toto yang mengantongi sertifikat bernomor HGB 1366. *Jipeknews/ philipus
Undang-undang Pokok Agraria
Pasal 35
- Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.
- Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat(1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
- Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak
No Responses