Bupati Manggarai Timur Agas, Andreas, SH, M.Hum tak mampu menahan rasa haru saat menerima kepok (sapaan awal) penerimaan di Pa’ang (pintu gerbang) Kampung Cekalikang. Suara serak dengan nada yang agak naik pada kalimat terakhir mengisyaratkan banyak makna yang tersirat di tempat tersebut.
Menyaksikan seremonial penerimaan Bupati dan wakil bupati Manggarai Timur di Pa’ang cekalikang melalui video yang diunggah akun facebook Dion Pranata tampak Bupati Manggarai Timur mengucapkan kalimat berikut “ Io……tae daku agu Pak Tarsi ai du ngo gami one pisa selek. Hoo neng koleh… Hoo kami kole ge poli gi pelantikan hoo. Terima kasih latang te ite ( ya saya bersama pak Tarsi saat mulai dipersiapkan dari sini dan sekarang kami sudah pulang pelantikan telah selesai. Dari pa’ang tersebut Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Timur akan diarak menuju ke rumah gendang Leleng.

Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Timur diterima dipintu gerbang kampung Cekalikang. Foto: Dion
Menyimak dan merenungkan ekspresi Bupati Manggarai Timur, 3 Maret 2025 sesungguhnya menyingkap banyak cerita perjalanan hidup di Kampung Cekalikang bersama keluarga dalam paguyuban suku Leleng. Intrepretasi situasional mungkin dapat dikatakan bahwa keterharuan itu karena dukungan tanpa pamrih dari keluarga sejak awal Pilkada 2024 sampai dengan menghantarkan Agas Andreas dan Tarsi Sjukur menjadi Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Timur periode 2025-2030.
Namun memoriku mulai mengurai dan memotret masa silam di tempat yang sama dikala Agas Andreas meninggalkan kampung untuk mengadu nasib di Kota Karang. Ditempat yang sama setiap kali Agas Andreas pulang kembali ke Kupang selalu diantar oleh Bapak Petrus Wanggar . Bapak Petrus Wanggar hanya sampai ditempat itu. Dia kembali ke rumah yang sangat sederhana beratap sirap setelah melakukan ritual menggaris di tanah dari Timur ke Barat. Setelah Bapak Petrus Wanggar melakukan ritual itu dia mengijinkan anaknya Agas Andreas dan pengantar melanggar garis tersebut. Sementara Mama Marta Redung kala itu tidak berani untuk mengantar karena tidak mampu menahan kesedihan berpisah dengan anaknya.
Bila dikaji menggunakan teori probabilitas mengisyaratkan bahwa segala yang tidak baik ditinggalkan di kampung halaman dan ke negeri orang hanya menunjukkan perilaku yang berkenan. Menggaris ditanah telah memberikan titah bahwa tanah pusaka merindukan pengabdian. Bapak Petrus Wanggar yang tidak pernah mengenyam pendidikan tetapi ketika dia menggaris ditanah sama seperti menggunakan mistar. Berbeda dengan Yesus dia menulis di tanah dan tak ada yang tahu apa yang ditulisnya. Jipeknews/ Philipus
No Responses